Persaingan usaha
By :: Ery Djunaedy
http://ery.djunaedy.com/archives/236
Persaingan usaha
Anda kenal Mang Oyo? Saya pernah kenal dulu bertahun yang lalu ketika beliau masih aktif jaga warung. Beliau adalah pedagang bubur ayam yang cukup terkenal di Bandung. Dulu warungnya ada di depan SMP PGII, sekarang entah apa masih ada di sana atau tidak. Yang jelas warungnya sekarang ini cukup mentereng di Jalan Sulanjana tidak jauh dari rektorat ITB.
Saya tidak tahu persis apa yang membuat Mang Oyo menampilkan spanduk seperti ini di depan warungnya:
Coba perhatikan tulisan merah di foto di atas: “Telah terdaftar di hak cipta”
Terdaftar di hak cipta? Gimme a break! Nama warung Bubur Ayam Mang H. Oyo Tea telah terdaftar di hak cipta? Entah bagaimana pendapat anda, tapi menurut saya ini agak kelewatan. Bubur ayam tepi jalan namanya sudah didaftarkan ke hak cipta? Yang tercetus dalam benak saya adalah betapa ketatnya persaingan usaha sampai-sampai warung pinggir jalan (yang nota bene tergolong sektor non-formal) terpaksa harus memformalkan diri dalam bentuk perlindungan hak cipta.
Tulisan merah di bawahnya lebih seru lagi: “MANG H. OYONYA MASIH HIDUP” Berarti Mang Oyo pernah dituduh sudah meninggal, kan? Apakah persaingan usaha sudah sebegitu tidak sehatnya sehingga Mang Oyo perlu memberikan pernyataan bahwa beliau masih hidup?
Saya tidak pernah bertemu Mang Oyo lagi dalam beberapa persinggahan saya yang terakhir ke warung beliau. Tetapi dari pernyataan di depan warung itu jelas sekali bahwa:
- Ada usaha untuk mencontek nama beken Mang Oyo (sehingga beliau mencatatkannya sebagai hak cipta)
- Ada usaha untuk mengesankan bahwa beliau sudah meninggal, entah itu berhubungan dengan yang di atas atau berdiri sendiri
***
Kembali ke laptop!
Anda pernah makan Surabi Imut? Kalau belum silakan nikmati foto-foto yang ada di sini [to be uploaded]. Dulu, waktu saya masih sering lewat di Jalan Setiabudi, Surabi Imut masih menempati tempat yang cukup mentereng di sebelah kiri jalan (kalau berjalan naik ke arah Lembang). Sekarang Surabi Imut menempati warung yang tidak representatif, tidak sebanding dengan nama Surabi Imut yang sudah cukup terkenal. Warung yang agak butut ini ada di kanan jalan, di seberang lokasi lama.
Pertanyaannya tentu saja: kenapa harus pindah? Apalagi ke tempat yang lebih jelek dibandingkan sebelumnya.
Yang terdengar dari jauh sih sengketa dagang. Sang pemilik usaha ternyata bukan pemilik tempat, alias masih berstatus kontraktor. Melihat usaha makin maju, sang pemilik tempat ingin kebagian jatah yang setimpal. Akibatnya uang sewa dinaikkan. Karena adanya ketidaksepakatan, maka Surabi Imut hengkang ke seberang jalan.
Selesai sampai di situ? Ternyata tidak. Sang pemilik rumah meneruskan usaha surabi, entah beliau menjalankannya sendiri atau ada pengusaha surabi yang lain. Yang jelas di tempat lama masih berjualan surabi, sekalipun tanpa nama Surabi Imut, bahkan tidak ada namanya sama sekali. Di warung itu hanya tertulis papan nama “Surabi”.
Apa akibatnya? Semua pihak jadi korban tentu saja. Sang pemilik tempat lama jadi korban, karena konon kabarnya surabi yang di jual rasanya kurang mak nyuss dibandingkan dengan Surabi Imut. Lama-lama pasti akan ditinggalkan pelanggan. Belum lagi bila kita melihat masalah etika. Sang pemilik tempat lama tidak secara jantan menuliskan bahwa surabinya sudah bukan lagi Surabi Imut, sehingga (ini menurut perkiraan saya) banyak pelanggan lama Surabi Imut yang mampir ke sana karena menyangka itu masih Surabi Imut. Ini tentu saja terkategori tidak etis (hampir berderajat penipuan, walaupun secara legal tidak bisa disalahkan).
Bagi Surabi Imut sudah jelas ini merupakan hantaman. Pertama, lokasi adalah aset terbesar warung tepi jalan. Sekali lokasi sudah terdefinisi susah sekali untuk mengubahnya. Pindah lokasi, apalagi ke tempat yang lebih butut, adalah bencana bagi sebuah warung. Kedua, karena banyak pelanggan lama yang mampir ke tempat lama karena menyangka itu masih Surabi Imut, dan kemudian ternyata rasanya sudah lain, maka merek Surabi Imut menjadi terpukul.
Bukan hanya mereka (para pedagang yang bersengketa) yang merugi, pelanggan juga merugi. Kalau mereka pergi ke tempat baru, mereka akan makan surabi enak di tempat butut. Kalau mereka pergi ke tempat lama, akan lebih parah lagi karena surabinya saja sudah tidak enak, mau tempatnya bagus juga jadi butut.
***
Pertanyaan saya sederhana: kenapa persaingan harus berarti saling mematikan? Berapa banyak kita mendengar kisah serupa: ada warung yang harus pindah karena tuan tanah menaikkan harga sewa tak terkira banyaknya.
Padahal solusi menang-menang bisa dicapai dengan mudah dalam kasus-kasus seperti ini. Tuan pemilik tanah menyangka bahwa dia sebagai pemilik tanah berhak atas keuntungan usaha yang dilakukan di tanah miliknya. Kalau memang begitu pemikirannya, maka sang tuan tanah sudah berpikir sebagai pemilik usaha, kalau begitu tidak perlu lagi meminta uang sewa tetapi minta saham yang setimpal dari keuntungan usaha.
Bagi pemilik usaha, bila sang tuan tanah menaikkan nilai kontrak, maka seharusnya dia menawarkan kepemilikan kepada tuan tanah itu. Daripada pindah mencari tempat baru, dan kemungkinan nantinya menghadapi situasi yang sama dengan tuan tanah baru, kenapa tidak manawarkan sebagian saham kepada tuan tanah. Toch memang lokasi adalah modal penting dalam usaha warung makan.
Berapa besar sahamnya itu bisa dibicarakan, dan ini tentunya perlu keterbukaan dan saling percaya. Tapi bukankah itu adalah prinsip keberhasilan usaha? Konon sih katanya, maklum, saya sendiri bukannya pengusaha. Hanya seorang tukang jajan yang ingin menikmati makanan yang mak nyuss di tempat yang nyaman.
0 komentar:
Posting Komentar